Mengunggah Foto Anak di Instagram. Haruskah?!

1:56:00 PM

Assalamu'alaikum..
Haloo semuanyaa..   

Seperti janji ku sebelumnya, kali ini aku akan bahas tentang topik yang menjadi penelitian pada tesis ku di S2 Komunikasi Mercu Buana. Well, topik ini akhirnya jadi final judul tesis setelah melalui proses yang panjang. Berkali-kali ganti judul sampai akhirnya aku mantab dengan judul yang sekarang sudah menjadi sebuah tesis seutuhnya. Manusia jaman now, ngga bisa lepas dari yang namanya gadget. Mereka atau bahkan saya sekalipun cukup bergantung dengan isi dari gadget kita masing-masing terutama dengan segala macem sosial media yang ada di smartphone kita. Siapa sih yang ngga punya media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, bahkan Instagram sekalipun di jaman yang serba digital saat ini? Semua akses informasi bisa kita dapat dengan cepat di sosial media. Bahkan terkadang gosip-gosip dari ibu-ibu tetangga sebelah yang tiap pagi terus di update di tukang sayur keliling pun kalah dengan kecepatan update informasi dari sosial media ini.

Berbagai fenomena-fenomena pun bermunculan. Misalnya kayak fenomena akun gosip yang entah dari mana bisa begitu hits di Indonesia. Lalu juga ada fenomena selebgram yang baru posting video nyeleneh dikit, langsung banyak followers nya. Ada juga fenomena nyinyir berjamaah di sosial media yang menghasilkan perkumpulan para haters. Nah melihat begitu maraknya fenomena-fenomena yang muncul di media sosial ini, ada beberapa fenomena yang membuat aku tertarik untuk di jadikan topik sebuah penelitian. Sebut saja tentang fenomena mengunggah foto anak di media sosial. Dalam penelitian, aku hanya berfokus pada media sosial Instagram saja. Dan hanya membahas foto anak dari umur 0 sampai 5 tahun saja. Awalnya ketika belum menelusuri lebih jauh, aku berfikir, "ah majang foto anak mah udah jadi hal yang lumrah di jaman sekarang.  Lalu apa yang menjadikan itu sebuah masalah?"

Masalah mah banyak ya kalo dicari-cari. Tapi ternyata memang mengunggah foto anak adalah awal dari berbagai masalah. Contohnya kayak beberapa kasus yang dialami publik figure tanah air menyangkut foto anak mereka yang di salah gunakan oleh orang lain. Bahkan sempat adakan tuh kasus akun jual bayi murah yang sempat meresahkan masyarakat. Lalu juga ada kasus cyberbullying yang sampai sekarang pun masih banyak kita jumpai. Mengomentari foto anak dengan kata-kata tidak pantas di akun media sosial orang tuanya padahal anak tersebut tidak memiliki masalah apapun. Hanya saja memang mungkin lagi-lagi saat ini kebanyakan akun public figure yang jadi sasaran cyberbullying tersebut. "Lhaa beda dong, itukan public figure. Kita mah cuma orang tua biasa. Mana ada yang mau ambil foto anak kita, mana ada yang mau ngebully anak kita. Kita mah apa atuh?" Eitss jangan salah, dari penelitian yang aku lakukan ini justru banyak lhoo orang tua yang bukan dari kalangan apapun menjadi korban kejahatan dunia cyber ini. Sebenarnya aku mau menampilkan beberapa gambar screenshoot dari postingan-postingan para informan sebagai contoh seperti apa sih masalah yang aku maksud, tapi kita sebagai peneliti pastinya harus punya etika dalam menampilkan sesuatu apalagi kalo berkaitan dengan data penelitian.

Sekarang mulai bermunculan nih fenomena-fenomena baru lainnya terkait mengunggah foto anak di Instagram seperti adanya Instagram pribadi anak dengan menggunakan profile picture anak tersebut dan berisi seluruh foto-foto anak dengan berbagai pose seolah-olah anak tersebut benar-benar mempunyai akun pribadi. Ini mah udah bejibun yaa di Instagram. Ada peran orang tua juga sebagai orang yang membuat dan mengunggah serta mengeola akun. Ya iyalah anak umur 0 – 5 tahun kan belum ngerti yang begituan ya. Tapi, Instagram dengan jelas telah menerangkan dalam kolom Terms yang terdapat diwebsitenya yang menyatakan “You must be at least 13 years old to use the Service” artinya bahwa untuk menggunakan Instagram, seseorang harus sudah berumur 13 tahun keatas. Nah disini tuh sebenarnya agak kurang jelas peraturannya. Karena dengan peraturan sepert itu, justru akan makin banyak akun-akun ngga jelas yang kita sendiri pun ngga tau berapa umur orang yang pake Instagram ini. 

Sumber : Google.com
Tidak bisa kita pungkiri bahwa di tengah berkembangnya teknologi, umur menjadi hal yang tidak pernah membatasi seseorang untuk menggunakan segala macam bentuk teknologi. Peraturan hanyalah sebuah peraturan apalagi dunia virtual yang kita tidak pernah tahu siapa saja aktor dibalik sebuah akun sosial media tersebut. Dalam penelitian ini, orang tua di anggap sebagai aktor dibalik sebuah akun Instagram pribadi anaknya. Selanjutnya terkait dengan kemunculan fenomena selebgram anak yang kini makin marak di Instagram. Di Indonesia sendiri sudah banyak selebgram anak bermunculan. Hal ini tentunya tidak terlepas dari peran orang tua sebagai orang yang mengunggah foto maupun video anaknya lalu kemudian membuatkan Instagram pribadi untuk anaknya. Memang ngga bisa dipungkiri bahwa itu udah jadi kebutuhan untuk para orang tua yang mungkin sengaja melakukannya untuk sekedar hiburan, kenangan atau mungkin bisa jadi untuk eksistensi diri. Apalagi jaman sekarang ya..jangan kan foto anak, foto selfie aja kita kadang mengharapkan mendapat banyak likes, atau komentar, pujian dan lain-lain. Terus berlomba-lomba banyakin follower dan sebagainya. Kalo aku liat emang sekarang ini lagi musimnya begitu. Mungkin perlu penelusuran lebih lanjut lagi soal eksistensi di dunia maya ini.

Nah di penelitian inilah aku membahasnya secara rinci dengan mewawancarai 10 informan. Informan nya pun harus lolos uji kriteria. Jadi engga sembarangan orang. Mereka yang di jadikan informan adalah para orang tua yang secara aktif mengunggah foto anak mereka di Instagram. Ngewawancarai informan pun bukan hal yang mudah. Aku harus mengatur waktu dan tempat. Belum lagi kalo harus reschedule pertemuan. Belum lagi kalo tempat pertemuannya cukup jauh dari rumah dan  sebagainya. Untuk proses wawancara aja aku memakan waktu lebih dari 3 minggu. Itu belom bagian mentranskrip wawancara lho. Yap! Ini bagian tersulit dari wawancara. Yaitu dimana kita harus menulis (mentranskripkan) rekaman wawancara kedalam sebuah tulisan untuk mempermudah kita dalam mengolah data nanti. Soalnya segala bentuk gesture informan, mimik muka, atau pun nada suara harus aku tuliskan sedetail-detailnya. Perjuangan yang luar biasa lah pas bagian mentranskripkan wawancara. Terkadang harus nunggu mood bagus untuk ngerjainnya.

Foto Bersama Beberapa Informan Penelitian
Jadi sebenarnya tujuan dari penelitian aku ini adalah untuk mengetahui apa sih motif yang mendasari para orang tua dalam mengunggah foto anak mereka di Instagram. Kebetulan aku menggunakan pendekatan fenomenologi. Inti dari pendekatan fenomenologi adalah ide atau gagasan mengenai ‘dunia kehidupan’ (life world), sebuah pemahaman bahwa realitas setiap individu itu berbeda dan bahwa tindakan setiap individu hanya bisa dipahami melalui pemahaman terhadap dunia kehidupan individu, sekaligus lewat sudut pandang mereka masing-masing. Fenomenologi menganggap pengalaman yang aktual sebagai data tentang realitas yang dipelajari. Kalangan fenomenologis pada umumnya berkeyakinan bahwa pengalaman adalah bersifat subjektif, bukan objektif. Bahwa apa yang orang ketahui adalah apa yang orang alami, dan bahwa subjektivitas sudah selayaknya dihargai sebagai suatu jenis pengetahuan yang penting (Pawito, 2007:54-55).

Maka, PENGALAMAN dari para informan dan bagaimana mereka MEMAKNAI PENGALAMAN tersebut inilah yang merupakan bagian penting dalam pendekatan fenomenologi. Pertama kali aku akhirnya memutuskan menggunakan pendekatan ini karena kebetulan saat kuliah semester 3, aku mendapat tugas untuk mempresentasikan tentang fenomenologi oleh Bapak Dosen Favorit aku yaitu Bapak Ahmad Mulyana. Sejak saat itulah aku tertarik untuk memakai pendekatan ini. Dengan tuntunan dari teori fenomenologi Alfred Schutz, Schutz menggolongkan motif kedalam 2 kategori yaitu motif karena (because motives) dan motif untuk (in order to motives). Motif karena yaitu tindakan yang merujuk pada masa lalu. Dimana, tindakan yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki alasan dari masa lalu ketika ia melakukannya. Sedangkan motif untuk yaitu motif yang merujuk pada tindakan di masa yang akan datang. Dimana, tindakan yang dilakukan oleh seseorang pasti memiliki tujuan yang telah ditetapkan.

Ternyata dari hasil penelitian yang aku lakukan, terjadi perbedaan yang nyata antara motif Ayah dan motif Ibu dalam mengunggah foto anak di Instagram. Kalo Ibu-ibu itu lebih menonjol dan lebih aktif dalam mengunggah foto anak mereka di bandingkan para Ayah. Para Ibu juga tidak begitu khawatir dengan resiko ketika mengunggah foto anak di Instagram. Maklum ya kalo kita kan wanita lebih pake hati dan perasaan. Namun para Ayah justru lebih santai dan berhati-hati dalam mengunggah foto anak mereka di Instagram. Selain itu, terdapat beberapa motif yang ditemukan dari para  orang tua sesuai dengan pernyataan Schutz yaitu berdasarkan motif karena (because motives) dan motif untuk (in order to motives) antara lain :

  • Motif Karena atau motif masa lalu yang digerakkan oleh 2 hal yaitu pengalaman tentang album foto di masa lalu dan  gangguan serta keterbatasan teknologi yang dimiliki oleh para orang tua. Pengalaman mereka dengan keterbatasan dari memory card handphone bahkan ketika handphone mereka hilang, membuat para orang tua mencari solusi untuk tetap bisa melihat dan menyimpan foto anak mereka.
  • Motif Untuk atau motif masa depan terkait dengan 3 hal. Pertama berkaitan dengan upaya orang tua untuk menjadikan anak mereka dikenal oleh banyak orang dengan mengikuti berbagai lomba dan mulai menjajaki dunia selebgram. Kedua, berkaitan dengan sebuah tuntutan untuk berbagi moment perkembangan anak kepada orang lain terutama kepada keluarga yang jauh ataupun teman-teman yang sudah tidak lama di temui. Ketiga, sebagai upaya untuk mewujudkan rasa bangga dan bersyukurnya para orang tua atas apa yang mereka miliki saat ini dengan timbulnya rasa ingin menunjukkan ke orang-orang tentang seberapa bangganya ia memiliki seorang anak. Aku juga membuat klasifikasi orang tua sesuai dengan motif yang mendasari mereka mengunggah foto anak.
Tesis aku sendiri ada sekitar 200 lebih lembar. Ngga nyangka juga bisa setebal itu (nangis terharu). Dan untuk mengerjakan bab 4 sampai bab 5 membutuhkan waktu kurang lebih 2 bulanan. Total sekitar hampir satu semester lah untuk penyelesaian keseluruhan tesis. Sampai akhirnya aku bisa maju untuk sidang tesis pada tanggal 7 Juni 2017. Udah baca ceritaku tentang proses sidang tesis? Kalo belum klik disini aja ya :)  Itu cerita ku tentang topik yang aku jadikan tesis di S2 Ilmu Komunikasi Mercu Buana. Kalo ada pertanyaan atau mau bahas soal topik tesis aku ini, silakan tinggalkan komentar di bawah ya..


See You on The Next Sory :)

Referensi :
Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara.

You Might Also Like

0 komentar